Hacker dalam kultur korporat
Kata “hacker” yang saya gunakan dalam artikel ini merujuk pada arti
kata hacker versi hacker, bukan hacker versi yang lain. Hacker yang
dimaksud disini bukan mereka dengan topeng anonymous, pengguna Kali
Linux yang hobinya melakukan vandalisme merusak website atau mencuri
kartu kredit.
Mungkin saja belum paham bedanya, silahkan baca artikel yang ditulis
oleh pak RSW tentang meluruskan salah kaprah tentang
hacker atau
essay dalam bahasa Inggris oleh Paul Graham The Word
“Hacker”
Hacker, aktifitasnya disebut hacking yang menurut Wikipedia adalah
orang-orang yang menyukai tantangan intelektual dan melakukan
memanipulasi batasan-batasan sistem secara kreatif. Sederhananya,
misalnya seseorang mempunyai mobil yang biasanya ada di jalan kemudian
dengan cara yang kreatif orang tersebut bisa membuat mobil tersebut
berenang di air atau terbang, itulah hacker. Istilah hacker umumnya
hanya dibatasi pada dunia komputer dan pemrograman.
Para hacker inilah yang biasanya mengenal sistem dengan sangat baik dan
memahami dari A sampai Z sistem tersebut, kita bisa bilang bahwa mereka
itu pakar di bidangnya. Di dunia Free / Open Source Software, kita
mengenal ada nama Richard Stallman pendiri GNU yang software-nya banyak
kita pakai sekarang, atau Linus Torvalds pembuat awal Kernel Linux yang
sekarang banyak dipakai dari komputer server sampai Android, dan masih
banyak lagi.
Ada yang menarik dari aktifitas hacking tersebut, yaitu kultur mereka. Sebagian besar, mungkin juga semuanya, mereka para hacker itu menyukai aktifitas hacking sebagai hobi, banyak juga diantara mereka yang menghasilkan uang dari hobinya tersebut, tapi itu bukan tujuan utamanya. Kita tahu banyak software Open Source yang sangat bagus kualitasnya, sebut saja Apache dan Nginx yang dipakai sebagian besar web server di Internet. Postfix dan Qmail yang dipakai sebagian besar email server, dan tentu saja distro Linux seperti Debian, CentOS dll. Kita paham bahwa untuk membuat software dengan kualitas seperti itu usahanya tidak sedikit, termasuk waktu, tenaga dan pikiran. Meskipun demikian, kita sebagai pengguna bisa dengan mudah menginstall-nya hanya dengan apt-get install atau yum install, dan harganya? gratis.
Di sisi dunia yang lain, ada budaya yang sama sekali terbalik dari budaya hacking, yaitu budaya korporat yang tujuan utamanya tentu saja menghasilkan uang. Dari segi expertise, masing-masing akan mengatakan bahwa mereka yang terbaik di bidangnya, meskipun pada kenyataannya belum tentu demikian. Salah satu ciri budaya ini yang menurut saya menarik adalah seperti “get the job done”, sedangkan prosesnya, apa dan bagaimana tidak terlalu penting, bahkan jika harus mengeluarkan uang.
Saya bisa memberi analogi, pernahkah kita bertanya misalnya mengapa orang pergi ke restoran atau rumah makan kalau mereka bisa masak sendiri? atau pergi ke bengkel padahal mereka bisa memperbaiki sendiri. Jawabannya tentu saja bermacam-macam tapi dari analogi tadi, kita bisa memahami bahwa sebenarnya antara kultur hacking dan kultur korporat ada titik temu dan diantara banyak perusahaan berbasis Open Source, salah satu yang menurut saya memahami hal ini adalah Red Hat.
Red Hat adalah salah satu perusahaan berbasis Open Source, dipenuhi para hacker dan engineer terbaik dan berhasil menempatkan dirinya pada budaya korporat. Kita berbicara tentang Open Source sebagai sebuah produk, bukan seperti service provider yang menggunakan teknologi Open Source sebagai sarana, seperti Amazon misalnya yang menggunakan teknologi Xen server untuk bisnis cloud nya.
Setiap perusahaan pasti bergantung pada teknologi dan membutuhkan solusi IT, paling sederhananya untuk pengelolaan database. Dan jika bisnis perusahaan tersebut bukan IT, maka akan sangat tidak masuk akal jika perusahaan tersebut sampai invest dalam jumlah besar untuk IT apalagi mempekerjakan seorang pakar IT yang bayarannya mahal. Akan lebih baik dan efisien jika hal-hal yang berhubungan dengan IT di outsource kan ke pihak ketiga.
Tidak jauh berbeda dengan individu, sebuah perusahaan juga perlu merasa aman dan yakin bahwa mereka menyerahkan urusan IT nya di tangan yang tepat, yaitu mereka para pakar yang mengetahui sistem dari A sampai Z, sehingga bisa melakukan “hacking” pada sistem tersebut ketika ada masalah.
Kita ambil contoh antara RHEL dan Debian, dua-duanya distro Linux yang bagus. Bedanya, Debian hanya dikelola oleh komunitas, berbeda dengan RHEL yang dikelola Red Hat. Debian adalah distro yang stabil dan solid, mempunyai user base yang besar dan disukai para hacker dan sysadmin. Saya tidak pernah memakai RHEL tapi pernah menggunakan Fedora yang merupakan versi komunitasnya Red Hat. Dari segi Teknis, menurut Saya Debian lebih bagus manajemen-nya. Antara dpkg-nya Debian dan rpm-nya Red Hat juga lebih bagus dpkg, tapi tentu saja ini dari opini seorang pengguna Debian. Tapi, ketika dibawa ke dunia korporasi maka Debian hampir tidak dapat tempat, RHEL yang dominan. Karena meskipun Debian bagus tapi tidak ada jaminan dari siapapun, dan ketika timbul masalah dengan Debian maka “you’re on your own”, tempat mencari bantuan hanya Google, forum, dan milis. Disini terlihat bahwa faktor penentunya bukanlan apa, tapi siapa. Lihatlah Microsoft windows yang banyak masalah itu.
Pertanyaan berikutnya adalah, mengapa Red Hat bisa berhasil menjual
Linux yang gratis itu? jawabannya adalah karena Red Hat ahli Linux dan
banyak para pakar di Red Hat sehingga banyak perusahaan mempercayakan
solusi IT mereka ke Red Hat.
Kemudian adalah tentang bagaimana public bisa percaya bahwa Red Hat
benar-benar ahli di bidangnya. Diatas ada saya sebut bagaimana setiap
perusahaan mengklaim bahwa mereka yang terbaik dibidangnya, saya pun
bisa. saya tidak bisa desain web tapi Saya bisa saja katakan bahwa Saya
ahli desain website, yang pada kenyataannya saya menggunakan jasa pihak
ketiga, yang seperti ini sudah sangat umum. Tapi berbeda sekali dengan
Red Hat, Red Hat membuktikannya. Contohnya, Red Hat mempunyai kontribusi
yang besar di project OpenStack, Red Hat juga merupakan kontributor
terbesar di Linux kernel development, dan berbagai project Open Source
yang lain. Red Hat juga memproduksi software yang tidak hanya untuk OS
Red Hat tapi juga distro lain, network manager misalnya.
Sampai disini, seharusnya skeptisme bisnis berbasis Open Source sudah terjawab. Software Open Source yang kebanyakan gratis juga bisa menjadi peluang, seperti udara yang gratis tapi isi angin di tukang tambal ban juga harus bayar. Adopsi penggunaan software Open Source juga semakin besar yang tentu saja demand kepada tenaga ahli juga bertambah.